Ada Listrik Dalam Sekam
Banyak cara memperoleh setrum. Tanpa PLN, kita masih bisa punya listrik, bukan cuma untuk rumah, tapi juga untuk usaha.
Budi Nugroho, Mohammad Syafei
Tanpa listrik, dunia terasa kiamat. Hampir segala hajat kita, terutama yang di kota, tergantung dengan listrik--dari kebutuhan pokok sampai hiburan. Hitung saja: pompa air, rice cooker, kompor, mesin cuci, kulkas, komputer, televisi, dan lain sebagainya perlu listrik. Belum lagi peralatan rumah sakit, yang bisa membuat pasien gawat tanpa listrik. Lalu, kiamatkah kita tanpa PLN, Perusahaan Listrik Negara? Ternyata tidak. Pergilah ke Ciwidey, 50 kilometer barat daya Kota Bandung. Di perkebunan teh di sana, Sabtu dua pekan lalu, diresmikan pemakaian listrik yang dihasilkan oleh mini hydro power. Perkebunan seluas 500 hektare ini terletak di tengah-tengah hutan cagar alam Gunung Tilu dan berada kurang lebih 1.400 meter di atas permukaan laut--kondisi yang menyulitkan PLN memancangkan tiang-tiangnya. Memang, ini bukan listrik pertama di perkebunan yang dibangun pada tahun 1932 dan kini dimiliki oleh PT Chakra itu. Dulu, perkebunan itu menggunakan listrik diesel. Dan selama bertahun-tahun kesulitan mesti ditanggung: mengangkut solar sekitar 25.000 liter per bulan agar mesin diesel tetap bisa berputar. Maklum, sekitar 15 kilometer menjelang lokasi perkebunan, jalanannya menanjak, malah belakangan rusak dan berbatu-batu.
Untunglah Rachmat Badruddin, Direktur Chakra, tak lalu cuma berdoa agar truk-truk tangki pengangkut solar tak terguling. Dua tahun lalu, diadakanlah survei. Hasilnya, aliran sungai Cikahuripan dan Cimeri yang melintas di sekitar perkebunan mempunyai potensi untuk membangkitkan energi listrik. Maka, segera diputuskan untuk memanfaatkan karya Sang Mahapencipta itu. Dengan pinjaman lunak dari USAID sebesar US$ 200 ribu, PT Chakra tinggal memerlukan US$ 150 ribu untuk membuat dua sungai itu mengalirkan setrum.
Tanpa hambatan berarti, terpasanglah mesin mini pembangkit listrik tenaga air berkapasitas 240 kilowatt. Turbin itu menggantikan mesin diesel yang selama ini dipakai untuk proses produksi di perkebunan penghasil 1.200 ton teh kering per tahun itu. Selain itu, 30 persen listrik yang dihasilkan juga akan disalurkan ke rumah-rumah pekerja di sekitar perkebunan. Kini, lebih dari 1.000 karyawan tinggal di sekitar pabrik. Setiap rumah mendapat jatah 150-250 watt. Menyadari pentingnya kestabilan pasokan air yang menjadi penggerak mini hidronya, Chakra berencana meluncurkan program pelestarian daerah hutan dan sekitarnya. Salah satu programnya, papar Rachmat, melibatkan warga sekitar perkebunan, yakni menghentikan penebangan liar. Caranya, PT Chakra menyediakan modal agar warga menjadi petani teh, dan Chakra pula yang akan membeli daun-daun teh itu untuk dijadikan penghilang dahaga. Peluang ini ada, karena selama ini Chakra masih membeli daun teh dari perkebunan lain.
Televisi 21 Inci
Listrik alternatif tak harus ratusan kilowatt seperti di perkebunan teh itu. Pergilah ke Kampung Garung, Desa Panyindangang, Garut, Jawa Barat. Sejak 10 bulan lalu, Kampung Garung sudah mempunyai setrum yang bukan dari PLN. Turbin pembangkit listrik di sini berkapasitas 15 kilowatt. Konon, bila kampung yang terpencil 80 kilometer dari Kota Garut itu menunggu tegaknya barisan tiang listrik, bisa bertahun-tahun. Adalah Sungai Cipaleubuh yang dimanfaatkan warga Kampung Garung untuk menjadi sumber setrum yang dinamakan PLTP atau Pembangkit Listrik Tenaga Pikohidro Cipaleubuh. Dari 117 kepala keluarga di Kampung Garang, 70 di antaranya sudah menjadi pelanggan PLTP Cipaleubuh itu.
Inilah proyek percontohan Yayasan Bina Usaha Lingkungan (LSM yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat) yang didukung oleh UNDP, lembaga pembangunan PBB. Menurut Nina Natalina dari YBUL, turbin listrik Cipaleubuh adalah bagian dari program pemberdayaan pedesaan. Pembangunan PLTP itu membutuhkan biaya Rp 90 juta untuk pembelian mesin turbin dan Rp 15 juta untuk jaringan. Biaya per bulannya sekitar Rp 50 ribu saja untuk membeli pelumas. Dan warga Kampung Garung tak menerimanya dengan gratis. Dalam 12 tahun, Lembaga Pengelola Keuangan Masyarakat Karya Mukti (pengelola PLTP tersebut) harus membayar Rp 625 ribu per bulan kepada YBUL. Sedangkan untuk pemasangan jaringan, setiap kepala keluarga dibebani biaya Rp 350 ribu yang dicicil selama tiga bulan.
Tapi sementara ini kami baru bisa membayar Rp 550 ribu per bulan, karena jumlah pelanggan belum memenuhi target, kata Sutiya, Ketua Karya Mukti. Tak jelas, berapa pelanggan targetnya. Yang sudah bisa dihitung, setiap pelanggan PLTP Cipaleubuh dikenai iuran Rp 15 ribu per bulan untuk daya 110 watt. Hanya dua keluarga yang ditarik Rp 30 ribu per bulan karena meminta 200 watt. Sebab, televisi keluarga itu 21 inci sehingga butuh setrum lebih banyak. Di luar televisi, di sini berlaku semboyan biar mahal asal hemat dan lebih terang: digunakanlah lampu hemat energi. Memang, setrum non-PLN tak bisa dipakai sepanjang hari. PLTP Cipaleubuh hanya mengalirkan listrik antara jam lima sore hingga enam pagi. Ada perkecualian, memang. “Waktu Piala Dunia, kalau ada pertandingan siang, listrik dinyalakan,†tutur Sutiya, lulusan Sekolah Guru Olahraga di Bandung, yang memilih jadi petani.
Benar, ada juga suka duka listrik alternatif. Di Kampung Garung, listrik pernah mati selama dua minggu, yakni ketika debit air Sungai Cipaleubuh menurun di musim kemarau Oktober lalu. Itu sebabnya PT Chakra menyusun program melindungi lingkungan sekitar perkebunan tehnya.
Dunia Belum Kiamat
Sebenarnya, listrik tenaga air di perkebunan bukan barang baru. Menurut Ipin Zaenal Aripin, Koordinator Teknik Chakra, di banyak perkebunan teh masih bisa ditemui bekas-bekas turbin listrik peninggalan Belanda. Bahkan, beberapa masih ada yang berfungsi, misalnya di Perkebunan Teh Megawatie milik PT Surya Andaka Mustika, Bandung. Tak dikembangkannya turbin mini itu mungkin karena dibutuhkan modal yang agak besar, dan sebelum harga minyak solar naik, mesin diesel jelas lebih murah. Selain itu, di negara yang padat penduduknya ini, ihwal memelihara lingkungan hidup memang belum populer benar, sehingga turbin mini yang tanpa polusi itu tak diprioritaskan. Ada lagi energi alternatif lainnya. Bukan hanya ada api dalam sekam, tapi ada juga listrik dalam sekam. Wisnu Nugroho, Direktur PT Tunas Mekar Adiperkasa--perusahaan pengolah aspal-pernah ikut dalam proyek gasifikasi sekam/jerami padi di Majalengka, Jawa Barat dan Randublatung, Cepu, Jawa Tengah, pada awal 1990-an, semasa masih jadi mahasiswa ITB. Gasifikasi merupakan proyek pengadaan listrik dengan mengandalkan limbah sekam yang banyak ditemui di sentra-sentra penggilingan padi. Bila hidup listrik sekam ini cuma tiga tahun, bukan karena ada api dalam sekam. Masuknya listrik PLN dengan tarif murah menjadikan gasifikasi tidak efisien, tutur Wisnu. Padahal, katanya, dari listrik sekam itu diperoleh produk sampingan: sisa pembakaran sekam-berupa arang sekam-bisa dimanfaatkan untuk pupuk, bata ringan, aditif beton, dan filler (campuran untuk cat dan plastik). Menurut Wisnu, dengan perhitungan investasi minimal Rp 225 juta untuk 50 kilowatt listrik, dalam tempo dua tahun investasi itu akan mencapai BEP. Dan itu belum termasuk nilai arang sekam produk sampingannya.
Santai saja, dunia belum kiamat. Tak ada PLN, masih ada mini hidro dan lain-lain.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home